Srek… srek… srek…
Suara itu selalu terdengar setiap anak itu menarik tubuhnya. Seolah mengiringi kedua tangan mungilnya, saat mencoba menarik beban itu. Suara yang seakan ingin mengiris nurani tatapan iba yang melihatnya. Sekilas ku dengar otot-otot yang bertonjolan di bawah kulit lengannya berteriak-teriak, "Sudah, sudah, hentikan. Aku capek. Aku ingin istirahat." Tapi, keluhan itu selalu dijawab dengan senyuman di bibir sumbingnya, "Sabar ya, Teman. Biarkan kakiku berdiri dulu. Setelah itu kalian tidak perlu lagi menarikku seperti ini." Seakan mengerti keinginannya mereka langsung diam membisu. Sesekali mereka meringis kesakitan sambil terus menarik tubuhnya.
Lama-kelamaan tubuh hitam itu pun mulai dihiasi gemerlap peluh yang berlarian menyusuri permukaannya. Nampak seperti kerlip bintang di langit yang tertutup mendung. Sejenak, mereka berhenti di depan otot-otot itu. Setengah berbisik mereka berkata, "Kuatkan dirimu, Teman. Sebentar lagi kita akan bertemu dengan mamanya. Setelah itu, kalian akan bebas bergerak tanpa beban."
Mereka membelai otot-otot itu dengan penuh kelembutan. Entah apa maksudnya, ataukah mungkin sebagai wujud rasa iba atas rasa sakit yang mereka derita.
Mereka membelai otot-otot itu dengan penuh kelembutan. Entah apa maksudnya, ataukah mungkin sebagai wujud rasa iba atas rasa sakit yang mereka derita.
***
"Ma, mama! Aku ingin segera keluar. Cepat ma, disini mulai sesak." Aku berteriak-teriak sambil menggedor-gedor dinding di depanku. Ku tendang, ku tinju, bahkan ku gigit dengan sekuat tenaga, namun tidak juga ada reaksi dari mama.
"Ma, mama! Cepat ma." Sambil terengah-engah, aku terus menendang-nendang dengan sisa-sisa tenaga yang masih ku miliki. Apalah daya, kakiku mulai melemah dan terasa sakit sekali. Semakin lama rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Aku menangis sekeras-kerasnya. Ku harap mama dapat mendengarnya dan segera mengeluarkanku dari ruangan sempit itu. Sesaat rasa sakit itu semakin membuncah. Cahaya-cahaya di sekelilingku perlahan mulai meredup. Kabut kegelapan sedikit demi sedikit menyelimuti seluruh tubuhku. Akhirnya, aku terkulai lemas; tak sadarkan diri.
Ku buka mataku dengan perlahan. Dinding di depanku mulai terbuka sedikit demi sedikit. Tiba-tiba dari lubang itu menyeruak seberkas cahaya yang sangat menyilaukan. Ku tutupi kedua mataku dengan jemari mungilku. Namun, cahaya itu masih dapat menerobos masuk melalui celah jemariku. Aku kembali menangis, "Ma. Mama. Tolong ma, mataku sakit." Aku terus berusaha menutup celah-celah itu, sambil memanggil-manggil mamaku. Entah apa yang ada dipikiran orang-orang di sekelilingku. Kenapa tak ada seorang pun yang mau mendengarkan. Mungkin mereka menganggap semua ini adalah kejadian yang lumrah. Atau mungkin mereka sudah menganggapku gila. Pokoknya aku tak peduli. Apapun kata orang, aku tetap tak peduli. Terpenting bagiku adalah bisa bertemu dengan mamaku secepat mungkin.
Sesaat ku tersentak di tengah kebingunganku. Ku rasakan ada sesuatu yang memegang tubuhku. Aku memekik gembira, "Hore, Mama datang. Mama datang"
Ku coba mengintip dari sela-sela jemariku. Ku cari wajah mama. Kosong. Tidak ku temukan sosok wajahnya. Hanya ku lihat sesuatu yang berwarna putih menyeruak masuk. Bentuknya seperti kedua jemariku, namun ukurannya tujuh kali lebih besar. Benda itu terus berusaha menarikku keluar. Aku berontak, "Tidak mau! Aku tidak mau! Ma, tolong aku." Sekuat tenaga ku coba untuk melepaskan diri. Tapi, sekuat apapun aku berontak benda itu pun semakin kuat menarikku keluar. Ingin ku tendang benda itu. Entah kenapa tak bisa ku gerakkan keduanya. Ku coba sekali lagi, kali ini ku bantu dengan kedua tanganku. Tetap tak bergeming sama sekali. Kakiku sepertinya lumpuh; tak berdaya. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Ku berdoa di dalam hati, "Ya Allah. Ya Tuhanku, lindungilah hamba-Mu yang lemah ini."
Ku coba mengintip dari sela-sela jemariku. Ku cari wajah mama. Kosong. Tidak ku temukan sosok wajahnya. Hanya ku lihat sesuatu yang berwarna putih menyeruak masuk. Bentuknya seperti kedua jemariku, namun ukurannya tujuh kali lebih besar. Benda itu terus berusaha menarikku keluar. Aku berontak, "Tidak mau! Aku tidak mau! Ma, tolong aku." Sekuat tenaga ku coba untuk melepaskan diri. Tapi, sekuat apapun aku berontak benda itu pun semakin kuat menarikku keluar. Ingin ku tendang benda itu. Entah kenapa tak bisa ku gerakkan keduanya. Ku coba sekali lagi, kali ini ku bantu dengan kedua tanganku. Tetap tak bergeming sama sekali. Kakiku sepertinya lumpuh; tak berdaya. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Ku berdoa di dalam hati, "Ya Allah. Ya Tuhanku, lindungilah hamba-Mu yang lemah ini."
Benda putih itu terus menarik tubuhku. Pelan-pelan mereka mengeluarkanku dari ruangan sempit itu. "Ah, lega rasanya." Pandanganku menerawang ke sekeliling. Ada banyak wajah-wajah yang tak ku kenali. Pandanganku berujung di wajah mama yang tergolek lunglai. Ku panggil-panggil mama. Dia hanya diam membisu. Nyaris tak terdengar hembusan nafasnya. Mungkinkah ia kesakitan karena kutendang-tendang tadi? Ku coba menggapainya dengan kedua tanganku. Apalah daya tanganku tak mampu untuk menjangkaunya. Ku coba menggerakkan kedua kakiku supaya bisa mendekatinya. Masih tetap tak bisa bergerak. "Mama. Bangun, Ma. Aku ingin memelukmu." teriakku.
Kedua benda putih itu sedang membersihkan perut mama. Mereka menutup kembali lubang tempat ku keluar tadi. Ku lihat banyak warna merah di sana. Ku perhatikan dengan seksama apa yang akan dilakukan benda-benda itu. Setelah selesai menutup lubang itu, mereka menutupi tubuh mama dengan kain putih, lalu membawanya entah kemana. Aku menangis sejadi-jadinya, "Jangan bawa mamaku. Jangan ambil mamaku. Aku ingin memeluknya." Aku terus menangis sambil tetap berteriak-teriak. Namun, kedua benda itu seolah tak memperdulikan tangisanku. Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan mamaku.
Seiring dengan perjalanan hidup yang ku jalani, tubuhku semakin membesar. Tapi, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Kedua kakiku. Ya, kedua kakiku masih sekecil dulu, ketika aku keluar dari ruangan sempit itu, yang kemudian ku ketahui sebagai rahim mama. Keduanya tak berubah sedikit pun. Sehingga jika ingin bergerak, aku harus bertumpu pada bokongku, lalu menarik tubuhku dengan kedua tangan. Kata teman-temanku, aku ngesot. Apa pun kata orang, aku tak peduli. Aku hanya ingin bertemu dengan mama. Aku ingin memeluknya, merasakan belaiannya, menikmati kehangatan dan curahan kasih sayangnya. Tak henti-hentinya, ku memohon kepada Allah SWT dalam setiap doa yang ku panjatkan. "Ya Allah, tolong pertemukan hamba dengan mamaku."
***
Srek…srek…srek…
Anak itu terus ngesot. Ia tak pernah peduli dengan tatapan iba orang-orang yang ditemuinya. Ia akan terus bergerak, sampai ketemu dengan mamanya. Entah sampai kapan, tak ada seorang pun yang tahu.
Pondok, 18 Desember 2006; 07:32:21
Spesial untuk ibuku. Ibu maafkan semua kekhilafan anakmu.
Ngesot: menarik tubuh yang bertumpu pada pantat dengan bantuan kedua tangan.
Bokong: Pantat
Bio Data Penulis
Nama Asli : Iwan Setiyoko
Nama Pena : M. Ayyash Abdillah
No KTP : 1127081005820009
Alamat : Temulus 01/II, Pondok, Grogol, Sukoharjo 57552
Phone : 081329188236
Status : Penulis, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Solo
Nb. Tolong cantumkan Nama Pena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar