16 April 2011

Seminar

Menggagas Buku Pelajaran Yang Mencerdaskan

Hotel Borobudur Jakarta

Selasa, 15 Agustus 2006

  



MINDFUL TEXTBOOK;
MENGKATIFKAN SELURUH ASPEK KECERDASAN ANAK

Keynot Speech
BAHRUL HAYAT, Ph.D
(Sekretaris Jenderal Departemen Agama)


Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum war. Wab,
Yang saya hormati Dirjen Pendidikan Islam, Bapak Direktur, dan hadirin semua.
Kita bersyukur pagi ini kita berkumpul pada acara yang sangat penting dan bermanfaat bagi pendidikan di Indonesia, khususnya bagi pendidikan madrasah. Saya menyambut gembira kegiatan yang dilakukan oleh Ditjen Pendidikan Islam untuk mendorong para penulis agar lebih kreatif. Kita berharap muncul sebanyak mungkin guru, pakar, dan para pemerhati pendidikan yang concern terhadap buku sehingga kita bisa menghadirkan buku pelajaran yang bisa menjadi menu dan pilihan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Ini juga yang sedang kita gagas dalam Undang-Undang Buku ke depan yang sekarang ini sedang digarap pemerintah. Kita arahkan para penulis untuk menuangkan gagasan dan pemikirannya kedalam buku pelajaran sehingga bermanfaat bagi banyak pihak. Pemerintah bersama masyarakat akan menfasilitasi dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya bagi para penulis buku pelajaran.
Bapak-ibu yang saya hormati..
Saya akan melanjutkan beberapa hal yang telah disampaikan oleh Bapak Dirjen Pendidikan Islam tadi. Saya akan memberikan pikiran-pikiran murni dari apa yang saya pikirkan, yang merupakan titik tekan dari apa yang disebut sebagai buku yang mencerdaskan.
Kita menyadari buku sangat penting; tidak ada bangsa yang berbudaya tanpa secara nyata terlihat dari bagaimana peran buku dalam masyarakatnya. Jadi, buku bagi masyarakat yang berbudaya itu indikator yang sangat signifikan. Kalau ingin melihat ukuran sebuah bangsa yang civilized, lihat saja dari jumlah produksi bukunya dan banyaknya orang yang membaca buku.
Dalam konteks pendidikan, hal ini terasa lebih penting lagi karena semakin negara sebuah berkembang, buku menjadi sangant penting (tapi sekaligus juga tidak penting, sebagaimana yang disampaikan Bapak Dirjen tadi). Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Yang pertama, dalam konteks Indonesia, kita punya Standar Nasional Pendidikan. Standar itu diturunkan dalam Standar Kompetensi dan Standar Isi. Yang riil dari standar itu dalam bentuk kurikulum adalah apa yang disampaikan guru dalam kelas yang disebut dengan kurikulum terimplementasi, bukan di luar kelas. Lebih dari itu adalah apa yang anak peroleh, dan rangkaian ini mesti secara sadar kita pahami; bahwa ada standar dan ada guru yang mencoba mengimplementasikannya bersama murid untuk memperoleh pembelajaran.
Tetapi yang perlu dikaji pada ujungnya adalah apa yang diperoleh anak setelah melewati proses pembelajaran. Kurikulum yang sebenarnya adalah apa yang ada dalam hati, pikiran, dan diri anak. Untuk itu tadi Bapak Dirjen telah menekankan bahwa inti dari keseluruhan –apakah buku atau guru—adalah terjadinya pembelajaran. Jadi bahasa yang paling mudah, apapun model kurikulumnya yang terpenting adalah bagaimana pembelajaran itu bisa terjadi.
Pertanyaan yang perlu diajukan ketika kita membuat sebuah buku adalah bagaimana kita menuangkan pikiran kita dalam sebuah buku dan anak menjadikan buku ini sebagai medium untuk belajar. Lantas orang akan bertanya lebih jauh, apakah dengan begitu anak sudah belajar? Menurut saya belajar, apapun definisi yang diberikan oleh para ahli, adalah proses afektif dan mental melalui seluruh indra yang kita punyai. Seluruh indera kita gunakan agar proses learning itu bisa terjadi. Proses learning dengan demikian adalah proses yang dinamis. Kita harus membayangkan sebuah buku yang jika anak membacanya maka akan terjadi proses dinamisasi didalam kognisinya. Jika demikian, maka buku itu benar sebuah buku yang mencerdaskan. Kalau tidak, berarti buku itu tidak memberi makna dalam dirinya.

Guru dan Buku; Dua Kekuatan Penentu
Kalau kita perhatikan, pada awalnya guru lebih duhulu ada daripada buku. Guru menjadi agen yang paling penting dalam proses pendidikan. Makin moderen sebuah bangsa berevolusi untuk menjadi makin maju, makin besar upaya untuk memasukkan buku menjadi elemen terpenting kedua. Secara evolusi, pendidikan untuk pembelajaran itu dari guru baru ke buku.
Pergerakan terjadi secara lebih jauh lagi, dimana peran guru dan buku akan tergeser oleh peran learning research lainnya, yakni pemanfaatan ICT. Ketika kita butuh guru, guru punya kelebihan karena dia living agent. Buku dan media lainnnya, pada sisi lain, adalah resource yang sangat statis. Dua kekuatan ini, kalau kita melihat hasil riset-riset terakhir, mana yang kita lihat kalau keduanya menjadi pilihan? Di banyak negara, hasil riset menyebutkan bahwa guru adalah satu-satunya faktor penentu prestasi ketika tidak ada resources. Tapi ketika ini menjadi sama, maka peran buku menjadi penting. Ketika di daerah pedalaman itu guru, bukan buku, menjadi indikator prestasi, maka di kota terjadi sebaliknya. Untuk itu, kita inginkan kombinasi yang baik antara resources yang statis dan alive ini.
Sekarang ini muncul generasi ICT yang mencoba menjadikan resource yang statis ini menjadi lebih interaktif. E-book atau e-learning akan terjadi, karena beberapa hal yang interaktif akan sangat dibutuhkan. Ini menjadi tantangan bagi presisi buku konvensional untuk tetap menjadi fungsi yang sama dengan ICT. Saya memperkirakan buku akan tetap punya peran penting.
Di Malaysia, sebagaimana yang dibayangkan PM Mahathir beberapa waktu lalu, anak-anak di Malaysia cukup menenteng laptop kemana-mana karena semua bahan belajar sudah ada didalamnya. Itu artinya dia menggeser penuh fungsi buku konvensional menjadi electronic book. Ini tantangan yang harus kita pahami ketika kita ingin mewujudkan sebuah buku yang mencerdaskan dalam konteks evlolusi dari yang dulunya hanya ada guru, kemudian ada guru dan buku dan saat ini guru-buku-dan ICT. Kita tidak menginginkan ketiganya terpisah berdiri sendiri-sendiri, tapi ketiganya menjadi kesatuan yang saling mendukung. Kita mendorong agar pendidikan yang kita jalankan ini pada akhirnya akan menghasilkan makna.

Buku yang Mindful

Karena kegiatan ini menyertakan asumsi buku yang mencerdaskan, ada pertanyaan kemudian, karena kita sering menyamakan cerdas itu dengan intelligent. Dalam bebarapa literatur mutakhir disebutkan bahwa intelligent saja tidak cukup, jadi buku yang mencerdaskan saja tidak cukup. Beberapa literatur menyebutkan bahwa intelligent saja tidak cukup, karena harus juga menyertakan mindful learning. Jadi buku itu bukan hanya intlelligent textbook, melainkan juga mindful textbook. Buku yang mindful menjadikan mind anak berinteraksi aktif dengan buku.
Buku yang mindful adalah: pertama, buku yang memberi banyak perspektif bagi anak untuk berpikir yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Kedua, mengaitkan persepsi lingkungan yang dihadapi anak dan mendorong anak mampu mempersepsi solusi yang mungkin penting untuk anak. Untuk MIPA, ini menjadi sangat penting. Situasi ini menjadi a novel situation, situasi yang senantiasa baru. Ini tantangan yang saya kira tidak mudah.
Anak sendiri mempunyai persepsi tentang belajar, terhadap untung rugi tentang apa yang dia kerjakan. Berbagai keterbatasan yang ada di masyarakat, akan dipersepsi anak dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya. Kalau dari awal kita berikan pemahaman seperti ini, anak akan tahu apa yang perlu dan tidak perlu dia pelajari, apa untung-ruginya dia mempelajari sesuatu. Untuk itu, saya menekankan bahwa textbook yang baik adalah textbook yang memiliki hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Textbook harus meaningful. Ketika seorang anak membaca sebuah buku pelajaran, anak dipastikan dapat menangkap pesan maknanya. Jangan sampai membaca lima halaman buku, anak tidak mendapat apa-apa. Anak didorong untuk membaca beberapa buku, seolah-olah canggih, padahal tidak ada meaning di dalamnya; juga tidak jelas apa yang diraihnya. Sebuah buku yang baik harus mampu menjadikan anak bisa tahu makna dan hasil yang diharapkan. Ini penting, karena beberapa buku teks pelajaran yang saya baca nampak demikian berat. Guru dituntut memberikan tugas dan pekerjaan rumah yang demikian banyak. Begitu banyaknya sehingga nampaknya terlalu jauh untuk sampai ke meaning. Tapi agar terkesan canggih, buku itu dikemas sedemikian rupa agar terkesan anak belajar secara aktif, padahal jauh dari meaning.
Kedua, Mengandung aspek motivational to learn dan motivational to unlearn. Ketika membaca sebuah buku pelajaran, anak termotivasi untuk belaja tanpa harus dipaksa oleh guru. Karena buku adalah medium belajar, maka dia juga harus memuat motivational to unlearn. Ketika sesuatu dipersepsi secara salah, maka buku pelajaran juga harus bicara salah. Buku harus berperan untuk mencopot hal-hal yang salah. Dan ini dalam MIPA banyak; banyak pendapat umum yang beredar selama ini yang salah, dan buku harus mengatakan ini salah. Kebiasaaan dan persepsi yang salah harus dikatakan salah. Dengan begitu anak tidak lagi bertanya mana yang benar dan mana yang salah.
Ketiga, Buku yang baik juga harus keep attentive. Buku yang baik mendorong anak untuk memiliki atensi, perhatian, terhadap apa yang dia pelajari. Ini memang sulit. Tetapi, ketika orang membaca Kho Ping Hoo, misalnya, orang akan sulit untuk berhenti. Ada apa? Ada magnet attentive dimana penulis menanamkan agar pembaca terus mengikuti apa yang akan disampaikan penulis. Saya kira banyak penulis yang bisa melakukan ini. Idealnya, ketika satu bab belum selesai, anak sudah merasa perlu untuk melanjutkannya ke bab berikutnya, atau juga mencari buku lain sebagai pelengkap bacaan.
Keempat, Buku Pelajaran harus bisa untuk self study. Karena peran guru di ruangan juga terbatas, maka buku harus bisa membantu atau mengisi kelemahan ini. Kalau buku-buku dikembangkan secara luas dengan pendekatan self study, saya kira para siswa akan terbiasa untuk mengembangkan pola belajar yang mandiri.
Kelima, Buku yang baik juga harus punya makna untuk menemukan nilai dan etika yang relevan dengan kehidupan kekinian dan moral yang berlaku. Tanpa hal ini, anak-anak akan menemukan hal-hal yang kontradiktif dalam dirinya. Kita harus saling melihat seluruh komponen pendidikan menyatu dan mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia ini.
Mudah-mudahan kegiatan ini bermanfaat. Saya yakin kita akan memperoleh dan menghasilkan buku-buku yang layak digunakan anak-anak dan guru kita. Semoga apa yang sampaikan bisa memperkaya obsesi kita untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Kurang lebihnya mohon maaf, billahittaufiq wal hidayah. Wassalamuaikum wr. wb.

Tidak ada komentar: